NU-MUHAMMADIYAH masih menjadi ormas Islam terbesar dan gerakan arus utama dakwah di tanah air, kultur beragamaan yang berbeda bukan berarti menutup jalan keduanya untuk disenyawakan dalam satu bingkai apalagi jika hal tersebut dimaksudkan demi terciptanya ukhuwah dan terbinanya cita – cita yang lebih besar.
Banyak Jalan yang ditempuh oleh para pendahulu untuk mempersatukan segenap potensi ummat termasuk didalamnya NU dan Muhammadiyah, kendati tidaklah mudah dan sederhana kenyataannya keduanya memang tidak mustahil untuk dipersatukan.
Bersatu karena cita – cita besar Kemerdekaan
Pada tanggal 7 dan 8 November 1945 di Yogyakarta terjadi sebuah peristiwa yang amat bersejarah bagi ummat Islam di tanah air, yaitu diselenggarakan Kongres Ummat Islam Indonesia. Kongres akhirnya menyepakati dibentuknya partai politik Islam sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik ummat Islam Indonesia. Dikalangan kongres waktu itu ada dua usul tentang nama partai yang akan dibentuk. Satu kalangan menghendaki nama Masyumi, karena sudah popular, karena Masyumi didirikan dizaman pendudukan Jepang sementara kalangan kedua mengusulkan nama Partai Rakyat Islam, tetapi akhirnya disepakati nama Masyumi dengan penegasan bahwa nama itu bukan lagi singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia sehingga disebut “Partai Politik Islam Masyumi”
Dalam tinjauan sejarah peleburan ini mengandung arti bahwa ummat Islam bisa mengesampingkan perbedaan demi satu tujuan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan kebersamaan yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan yang senafas dengan Semangat Ukhuwah Islamiah dan Ukhuwah Wathoniah. Dalam perjalanannya yang tidak panjang persatuan ini terurai karena banyaknya pengaruh luar serta memudarnya nafas kebersatuan karena “cita – cita bersama” yang diperjuangkan telah tercapai.
Bersatu dalam menyikapi bahaya merah PKI
Meski NU dan Muhammadiyah telah memilih jalannya sendiri namun dalam perjalanan selanjutnya keduanya kembali memiliki “isu bersama” yang secara strategis mempersatukan cita – cita untuk membentengi ummat dan bangsa dari bahaya merah Partai Komunis Indonesia yang nyata telah melaksanakan "pengkhianatan / pemberontakan" atas bangsa dan rakyat Indonesia lewat cita – cita besarnya untuk memerah totalkan negeri ini.
Keduanya NU dan Muhammadiyah bersatu dalam bentuk berbagai Kesatuan Aksi yang mengusung tuntutan yang sama yang dikenal sebagai TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni “ Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan bersihkan Kabinet dari unsur – unsur PKI.
Bersatu dalam bentuk poros tengah di sidang istimewa.
Ketika reformasi bergulir dan saluran politik dibuka selebar – lebarnya maka Partai – partai Islampun bermunculan, seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK) dan lahir pula partai – partai dengan kultur NU seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU) serta tidak ketinggalan partai yang berkultur muhammadiyah yakni Partai Amanat Nasional (PAN). Banyak Pengamat menilai banyaknya partai yang ber-azas Islam dan berbasis massa Islam menunjukkan sulitnya untuk mempersatukan kembali ummat islam dalam ranah politik.
Kenyataan ini terbalikkan dengan terbentuknya kaukus politik bernama poros tengah pada Sidang Umum MPR 1999, pada saat itu poros tengah memainkan peranan yang penting dalam memuluskan langkah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden mengalahkan dominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berambisi menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden wanita pertama dalam sejarah Republik ini.
Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini atas dasar persamaan kepentingan maka berbagai kutub politik Islam berhasil dipersatukan demi menjaga keberlanjutan demokrasi dan menghindari tampilnya calon tunggal yang terpilih secara aklamasi.
Bersatu untuk sebuah cita – cita yang lebih besar
Dalam menghadapi Pemilu 2009 dari rahim NU dan Muhammadiyah kembali lahir partai – partai politik baru yang tentu akan menjadi kompetitor bagi pendahulunya seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bakal menghadapi pesaing berat dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang dimotori oleh para ulama NU, begitupun dengan kehadiran Partai Matahari Bangsa (PMB) yang diprakarsai oleh Angkatan Muda Muhammadiyah yang hampir dipastikan bakal bersaing ketat dengan saudara tuanya yakni Partai Amanat Nasional (PAN).
Diluar itu PBB (Partai Bulan Bintang / Partai Bintang Bulan), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga patut diperhitungkan karena sebagai bagian ummat yang terbesar warga NU dan Muhammadiyah masih menjadi target – target suara yang potensial terlebih dari pimpinan pusat baik NU maupun Muhammadiyah secara terang dan tegas bersikap “dewasa” dan “ksatria” dengan memberikan keleluasaan kepada ummat-nya untuk secara bebas menyalurkan aspirasi politiknya.
Kelak di parlemen partai – partai ini akan bertemu dalam memperjuangkan aspirasi konstituen yang telah memberinya kepercayaan, tentu pada saat memperjuangkan nasib dan masa depan ummat berbagai kekuatan ini diharapkan bisa menyatukan diri sebagai koalisi strategis dalam meraih vitalitas politik yang besar dan menentukan.
Jejak – jejak bersatunya kutub – kutub politik yang berbeda dari ummat Islam khususnya yang diwakili/mewakili NU dan Muhammadiyah merupakan catatan langkah yang secara nyata terbukti bisa kembali di-upayakan secara sungguh – sungguh dengan mengedepankan kesamaan gagasan, harapan dan cita – cita yang lebih besar demi kemanfaatan bersama ummat dan bangsa.
(Ditulis oleh Badrut Tamam Gaffas untuk Bulan Bintang Media)