masa depan perjuangan syariah

Masa Depan Perjuangan Syariah

Sebagai Partai Islam yang Berkemajuan Perjuangan Syariah tetap menjadi ruh dan starting point / landasan bagi perjuangan partai. Perjuangan ini hakikatnya adalah perjuangan dari generasi ke generasi yang api dan gelora semangatnya tak akan padam [...]
klaim budaya oleh malaysia

Klaim Budaya Berulang, Tindak Tegas Malaysia

Pemerintah bisa bersikap lebih keras dengan menarik Duta Besar Indonesia di Malaysia. “Atau sebaliknya. Jika pemerintah mampu bersikap tegas, menurut Yusron, Malaysia akan lebih menghormati Indonesia [...]
next masyumi

The Next Masyumi Bagian 2

Jejak Panjang Perjuangan Masyumi untuk ummat dan bangsa tidak bisa begitu saja dihapuskan , Ia lahir dari ide besar Islamic Modernization, sebagai partai ia bisa dibubarkan tetapi sebagai ide besar ia akan tetap muncul dalam bentuk yang lain. [...]
jejak kyai kuning

Jejak Kyai Kuning dalam Syiar Islam Nusantara

Dari Demaklah cita - cita Kyai Kuning untuk penyebaran dan pengembangan Syiar Islam dimulai dan Dari Demaklah Kebangkitan Islam pada mulanya disuarakan dan diperjuangkan hingga ke penjuru nusantara[...]

31 Maret 2008

Gelora Islam Sang Sastrawan Besar Madura, R. Musaid Werdisastro (Penulis Babad Sumenep)

Masjid Jamik Sumenep dan Asta tinggi adalah dua buah manikam sejarah keemasan syiar Islam di Pulau Madura yang berwujud arsitektur indah dan menawan, keduanya menjadi bagian tak terpisahkan dari tingginya peradaban Islam yang terlahirkan di tanah madura berabad-abad yang silam.

masjid-jamik-sumenep-bulan-bintang-media.jpg

Gerbang Utama Masjid Jamik Kota Sumenep, Paduan Arsitektur multi etnik yang menawan

cungkup-utama-asta-tinggi.jpg

Bangunan Utama Asta Tinggi - Makam Raja - Raja Sumenep


R. Musaid Seorang Pejuang Budaya

Diantara rekaman sejarah tentang Pulau Madura ternyata Babad Sumenep menjadi dokumen penting yang bisa dijadikan literatur awal untuk mempelajari madura khususnya sumenep secara lebih mendalam.

Raden Musaid adalah Sastrawan Legendaris yang berjasa menulis Babad Sumenep. Awalnya penulisan tersebut dimaksudkan sebagai upaya pelurusan sejarah terutama sejarah islam di sumenep dalam bingkai dinamika hubungan antar etnik yang berlangsung damai. Dalam Babad itu digambarkan pula tumbuh kembang sebuah komunitas masyarakat berperadaban dan berperilaku elok yang disebut Bangselok.

Sebagai Budayawan dan Pejuang secara cerdik Raden Musaid berupaya mengobarkan semangat perjuangan anti penjajahan kolonial belanda melalui simbol dan kiasan yang banyak terdapat dalam Babad yang dikarangnya, buku tersebut memang ditulis menggunakan Bahasa Madura dengan Aksara Jawa sehingga praktis pihak belanda menjadi gagap dalam menangkap maksud rahasia sang penulis, sebaliknya pemerintah hindia belanda memberikan apresiasi yang tinggi dan penghargaan kepada Raden Musaid berupa sejumlah Gulden dan sebuah Gelar “WERDISASTRO” .

Sejak itulah Raden Musaid dikenal sebagai R. Musaid Werdisastro, ketika tarikh masehi menginjak 15 Pebruari 1914 Naskah Babad Sumenep tersebut naik cetak dan diterbitkan oleh Balai Pustaka sehingga anggapan Raden Musaid sebagai sastrawan lokal menjadi terbantahkan, Babad Sumenep menjadi sebuah naskah budaya yang memperkaya khazanah budaya dan sejarah bangsa.

Semangat Beragama yang menjadi Pelita

Raden Musaid yang budayawan dan cendikiawan memiliki kedekatan dengan Kyai Haji Mas Mansur yang berdarah Sumenep, dalam berbagai biografi disebutkan bahwa KH Mas Achmad Marzuki (ayahanda Mas Mansur) terhitung masih keturunan dari bangsawan Sumenep. Sebagai ulama muda yang kharismatik Kyai Haji Mas Mansur berhasil membawakan kehalusan dakwah yang menyentuh sehingga memberi pengaruh yang luarbiasa kepada pribadi Raden Musaid, beliau memilih jalan yang tidak biasa ditempuh oleh kebanyakan budayawan dan kaum adat yang mengambil jarak atas gerakan dakwah, semangatnya justru meluap – luap untuk mengikuti cara beragama yang diajarkan oleh mas mansur yang berusaha menempatkan agama dan budaya secara proporsional tanpa mengesampingkan adat / budaya yang bersendi syara’ dan berpilar kitabullah.

Raden Musaid menjadi penggerak pengembangan Muhammadiyah di Sumenep, beliau secara tegas menolak dikotomi NU-Muhammadiyah, menurutnya NU-Muhammadiyah atau Ormas keagamaan lainnya sama – sama bisa menjadi jembatan pergerakan berbasis keagamaan yang bisa mengantarkan ummat menggapai pencerahan spiritual. Dukungan untuk mengembangkan Muhammadiyah di Ujung timur Pulau Madura itu datang dari keluarga besarnya juga dari Kyai Haji Mas Mansur yang menjadi konsul Muhammadiyah Jawa Timur di Surabaya dan kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah (1937 – 1943).

R. Muhammad Saleh Werdisastro, Berkarya Hingga Tutup Usia

Semangat untuk mengikuti jejak perjuangan dan pergerakan sang ayah menitis dalam jiwa Muhammad Saleh Werdisastro, salah seorang putera Raden Musaid yang pada akhirnya terkenal sebagai salah satu putera Sumenep yang mendapatkan pengakuan dari Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional.

muhammad-saleh-werdisastro-bulan-bintang-media.jpg

Muhammad Saleh Werdisastro memulai karir sebagai pendidik dan aktivis Muhammadiyah selanjutnya beliau mulai menapaki berbagai karir dengan cemerlang tanpa meninggalkan panggilan jiwanya sebagai pendidik dan aktivis pergerakan. Bakat dan jiwa perjuangannya terasah sejak memimpin kepanduan Hizbul Wathon di Madura, Karirnya sebagai prajurit bermula dengan bergabung dalam laskar hizbullah kemudian bergabung sebagai milisi PETA dan terpilih sebagai Dai Dancho (Komandan Batalyon) Dai Yang II Yogyakarta pada tahun 1943 bersama dengan beberapa tokoh lainnya seperti Soedirman (Kemudian menjadi Panglima Besar TNI), Kyai Muhammad Idris, Kyai Doeryatman, Soetaklaksana, Kasman Singodimejo, Moelyadi Djojomartono, dan lain-lain. Setelah PETA dibubarkan maka mulailah Karirnya sebagai politisi dengan menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta (1945) dan dikukuhkan sebagai anggota KNIP (1946).

Karirnya sebagai pamong bersinar ketika menjabat Wakil Walikota Yogyakarta (1950), di Yogyakarta itulah beliau dipercaya sebagai anggota Tanwir Muhammadiyah Pusat dan turut pula menjadi penggagas berdirinya Universitas Gajah Mada (UGM), selanjutnya beliau menjabat Walikota Surakarta selama dua periode ("1951 – 1958") dan kemudian menjabat Residen Kedu yang berkedudukan di Magelang (1959 – 1964) hingga pensiun dengan pangkat Gubernur dan Wafat di Yogyakarta pada tahun 1966.

Pihak militer meminta jenazah Muhammad Saleh Werdisastro dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta karena almarhum adalah seorang pejuang yang memiliki Bintang Gerilya sementara pihak Muhammadiyah menolak karena Muhammad Saleh Werdisastro begitu besar jasanya kepada Muhammadiyah sehingga untuk menghormatinya, jenazah beliau dimakamkan berdampingan dengan pendiri Muhammadiyah lainnya, Kyai Haji Achmad Dahlan di pemakaman Karangkajen Yogyakarta.

Sebagaimana ayahnya yang dekat dengan Kyai Haji Mas Mansur maka R. Muhammad Saleh Werdisastro juga merasakan tempaan dari seorang Mas Mansur yang demikian berbekas sehingga nama sang guru pergerakan itupun diabadikan sebagai nama putera pertamanya Ir. R. Muhammad Mansur Werdisastro. Dalam beberapa tajuk biografi Muhammad Saleh Werdisastro tertulis "Residen Kebanggaan Muhammadyah", tajuk itu memang tidak salah hanya perlu sedikit dikritisi bahwa kitapun perlu menyadari bahwa beliau R. Muhammad Saleh Werdisastro dalam setiap gerak perjuangannya tidak pernah mendedikasikan diri secara khusus bagi Persyarikatan Muhammadiyah melainkan perjuangannya sebagai anak bangsa bersifat menyeluruh demi meraih kemaslahatan yang bersifat universal untuk ummat, bangsa dan negara.

Ustadz Hakam, menebar dakwah di ujung timur Pulau Madura

Karena minimnya tenaga dakwah di Sumenep pada sekitar tahun tiga puluhan maka Raden Musaid meminta bantuan kepada Kyai Haji Mas Mansur yang segera dijawab dengan dikirimkannya beberapa tenaga dakwah yang salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad (AKM), salah seorang murid sekaligus keponakan KH Mas Mansur.

Abdul Kadir dibesarkan dalam lingkungan agamis yang pluralis, sang ayah KH Mas Muhammad menitipkannya untuk dididik oleh adiknya yaitu Kyai Haji Mas Mansur sementara saudara Abdul Kadir yang lain ada yang mendapatkan didikan langsung dari Hasan Gipo, Ketua Tanfidziah NU pertama.

Keluarga Besar Sagipodin (Bani Gipo) memang memiliki akar yang kuat di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, Kedua Cucu Sagipodin yakni KH Mas Mansur dan KH. Hasan Basri (Hasan Gipo) merupakan dua tokoh penting dalam pertumbuhan Muhammadiyah dan NU.
kyai-haji-mas-mansur-dalam-bulan-bintang-media.jpg

Di Pulau Madura, Abdul Kadir memulai berdakwah dari lingkungan keluarga besar Raden Musaid, keberadaannya cepat bisa diterima dan akrab disapa dengan sebutan “Ustadz”, beliau juga berdakwah di lingkungan Masjid Jamik Sumenep. Demikianlah Ustadz Abdul Kadir Muhammad yang ber-etnis Jawa ternyata sangat memahami karakteristik orang madura dan terbukti fasih dalam berbahasa madura sehingga tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam komunitas yang berbahasa dan berbudaya madura.
Untuk meneguhkan perjalanan dakwahnya di Sumenep maka Ustadz Hakam kemudian menikahi R. Fatimatuz Zahro yang tak lain adalah cucu R. Musaid dari Puterinya R.Ay Mariatul Kibtiyah.

Dalam menyikapi perbedaan corak keberagamaan Ustadz Hakam selalu menekankan pentingnya mencari persamaan serta memperkuat ukhuwah wathoniah diantara ummah. Seperti halnya R. Muhammad Saleh Werdisastro yang peduli terhadap pendidikan kaum pribumi maka beliau juga merancang Home Schooling serta membuat sebuah perpustakaan dengan koleksi buku – buku pribadinya yang terbilang sangat banyak untuk ukuran perpustakaan pribadi, selain aktif berdakwah ustadz hakam juga meniti karir dari bawah di lingkungan Departemen Agama, pada pertengahan tahun lima puluhan ditugaskan sebagai kepala Kantor Urusan Agama Maluku Tenggara, sekembalinya dari tanah Maluku cita –citanya makin menguat untuk mengembangkan pendidikan yang berbasis agama, pada periode tahun enam puluhan beliau dipercaya untuk mengembangkan Pondok Pesantren Modern Panarukan dan mulai merintis pengembangan dakwah di pulau – pulau kecil di sekitar Madura, terakhir KH Abdul Kadir Muhammad menjadi Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Modern Islam (YPPMI) Pulau Kangean dan terus berdakwah hingga akhir hayatnya.

Penulis perlu menggaris bawahi peran Raden Musaid yang sangat besar dalam membuka jalan bagi pengembangan dakwah Islam di Tanah Madura, selebihnya tulisan ini bersifat rintisan sehingga penulis menyadari banyaknya kekurangan atas rekaman – rekaman peristiwa dalam paparan diatas sehingga diharapkan bantuan dari berbagai pihak untuk dapat melengkapinya.

Akhirnya semoga kita bisa belajar dari catatan perjalanan hidup Raden Musaid yang Budayawan, Muhammad Saleh Werdisastro yang Birokrat dan Ustadz Hakam yang Ulama yang masing – masing sangatlah profesional di bidangnya. Kemudian yang terlintas adalah tanda tanya, bisakah kita turut mengambil bagian dalam meneruskan perjuangan dan pergerakan yang takkan bisa terpadamkan ??? Wallahu A’lam.

(Ditulis oleh : Badrut Tamam Gaffas untuk Sebuah Nama )

11 komentar:

Rizky Nur F mengatakan...

ini info baru buat sy tapi foto tokoh utamanya kok gk ada

Satrio Madura mengatakan...

Babad Madura - Babad Sumenep pernah dengar sih tapi tetap sulit mencari literatur ini, tolong kalau ada bisa di tulis juga kan asik bisa menelusuri sejarah maklum di sekolah hal seperti ini sangat jarang kalaulah ada informasinya sangat terbatas..mator kalangkong taretan

Bagus Andi mengatakan...

Ass
saya mau tau tentang silsilah keturunan dari raja sumenep,sampai akhir(sekarang)
buat perhatiannya mator sakalangkong
Ass

Firda mengatakan...

saya tidak terlalu tahu yang dibicarakan tapi lihat masjid jamik dan astatinggi saya jadi bolak-balik mikir kapan ya jadi mudik ke madura...
hmmm kapan ya mencicipi petis asli madura...

Badrut Tamam Gaffas mengatakan...

Semuanya saja terimakasih atas komentar dan perhatiannya pada blog ini.

Silsilah raja-raja madura ada disebutkan di Babad Sumenep, Dulu saya memang punya tapi mendadak menghilang, Saudara - saudara saya di sumenep Insyaallah masih menyimpan Dokumen bersejarah tersebut.
Saat ini yang saya punya terbatas silsilah keluarga Adipati Priggoloyo kebawah tapi lebih afdhalnya lagi memang dibaca langsung di Babad Sumenep, Jadi maaf belum bisa memenuhi permintaan saudara Bagus Andi atau jika teman - teman yang lain nanti menemukannya bisa juga di posting disini karena blog ini adalah media yang terbuka dari, oleh dan untuk siapa saja.

Untuk tulisan lain mengenai Sumenep dan Madura Insyaallah sedang dipersiapkan dengan harapan jangan bosan mengunjungi blog ini dan semoga blog ini bisa bermanfaat

dedy mengatakan...

tolong yang tahu ttg babad sumenep aku mau baca, penting banget,badrud tamam kalau ada aku mau contact aku di dedn306@gmail.com

kampoeng mengatakan...

Artikel menarik. Saya tertarik cerita seputar Sumenep sejak menikah. Istriku masih keturunan keraton sana dan setahun sekali kami ke asta tinggi ziarah ke makam ibu mertua.
tulisan sebelumnya Sisi lain cerita sumenep.

kekek mengatakan...

salam kenal buat pak badrut tamam abbas, terima kasih infonya untuk cerita R. Musaid Werdisastro yang kebetulan beliau itu masih kakeknya kakek dan nenek saya.

aank mengatakan...

mohon dikirimkan silsilah keluarga adipati pringgoloyo. terima kasih sebelumnya

aank mengatakan...

kepada yth. bapak badruttaman gaffas. mohon diinformasikan silsilah keluarga besar adipati pringgoloyo, untuk dijadikan dokumentasi keluarga. perlu diketahui, kami berasal dari keluarga besar Beliau, namun kehilangan informasi mengenai data silsilah. terima kasih sebelumnya.

muh david jayanegara mengatakan...

R. Muhammad saleh werdisastro adalah kakek buyutku

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Template by : Kendhin @ 2 0 0 9